​Manajemen Pengetahuan di dalam Keluarga (Family Knowledge Management) oleh Ust. Harry Santosa

Manajemen Pengetahuan di dalam Keluarga (Family Knowledge Management)

Selama berabad abad, keluarga tempo dulu sejak zaman Nabi Adam AS, mewariskan pengetahuan dan kearifannya secara turun temurun.

Bahkan Allah SWT sendiri yang mengajarkan kepada Nabi Adam AS, taxonomy atau klasifikasi pengetahuan.

“Wa ‘alama Adama asma’a kullahaa”

…dan kami ajarkan Adam, nama nama (nomos) tiap segala sesuatu (taxon).

Lalu Nabi Adam AS mewariskan kepada generasi sesudahnya. Warisan pengetahuan dan kearifan ini bisa berupa nasehat, resep makanan, kearifan pertanian atau perdagangan dll yang dituangkan atau disajikan berupa cerita hikmah, syair, senandung, catatan catatan dalam lembaran daun lontar dsbnya. 

Inilah kemampuan manusia, mengelola pengetahuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Hari ini keluarga muda mulai meniti jalan kembali kepada kesejatiannya sebagaimana keluarga di masa dahulu menjalaninya.

Walau zaman kini informasi membanjir, namun banyak keluarga tidak memiliki pengetahuan apalagi kearifan. Maka tiap keluarga sebaiknya punya kemampuan mengelola pengetahuannya sendiri.

Gejala di era informasi adalah “Drowning in information, but starving in knowledge” , terjemahan bebasnya kira kira “banjir informasi namun fakir pengetahuan”. Begitulah potret manusia di era informasi.

Informasi begitu mudah diperoleh dimana mana, namun kita sulit mendapatkan pengetahuan yang relevan dan bermakna sesuai keunikan dan kebutuhan keluarga masing masing.

Apa bedanya informasi dan pengetahuan? Informasi sebenarnya adalah data yang memiliki relasi, biasanya disampaikan dalam bentuk artikel atau berita di televisi atau di media sosial. Misalnya informasi kasus LGBT di Indonesia pada tahun 2017, informasi kriteria anak gifted, informasi perilaku generasi millennial dan gen Z, informasi tips n tricks menjawab pertanyaan anak tentang seks dstnya.

Informasi belum menjadi pengetahuan karena informasi belum sampai kepada memberikan kita keputusan untuk bertindak.

Agar Informasi menjadi pengetahuan maka informasi harus konteks dan relevan dengan pengalaman kita sendiri, atau pengalaman yang relevan dengan kebutuhan kita, ķeunikan kita, kebutuhan kita berupa kaitan antar informasi sehingga menjadi pengetahuan untuk mengambil keputusan atau tindakan dstnya.

Jika kita googling di internet, “bagaimana mengenalkan Allah pada anak”, maka kita akan dapat ratusan bahkan ribuan “link”, dan kita akan merasa bingung memilih mana yang cocok dengan kebutuhan kita.

Nah, ini namanya kebanjiran informasi, namun miskin pengetahuan. Sepanjang masih informasi kita tidak bisa mengambil keputusan untuk bertindak, sampai kita benar benar mendapatkan yang paling sesuai konteksnya dengan keluarga kita atau sampai kita mampu mengkontekskannya dengan pengalaman, keunikan dan kebutuhan kita sendiri.

Artinya pengetahuan itu sifatnya aktif dan interaktif bukan hanya digunakan tanpa konteks.

Di era informasi seperti ini, para keluarga perlu memiliki kemampuan mengelola pengetahuan atau biasa disebut Knowledge Management.

Bukankah sering melihat orangtua yang “hobby nya mengarsip” tetapi kemudian bingung sendiri ketika ingin mencari kembali, bahkan kemudian sakit kepala karena kebanyakan arsip yang tidak punya klasifikasi atas penyimpanannya dstnya.

Kita tidak mungkin terus menerus mengumpulkan arsip informasi parenting atau informasi pendidikan dari sana sini apabila tidak melatih kemampuan untuk mengklasifikasi informasi, memilih informasi yang relevan, berkolaborasi dengan pasangan dan anak, kemudian mengkompilasi atau mendiseminasi informasi sehingga menjadi pengetahuan baru yang relevan dengan keunikan dan kebutuhan kita.

Kita kemudian juga perlu menyajikannya kembali sehingga menjadi pengetahuan baru yang mudah digunakan atau dipraktekkan. Kelak hasil praktek ini akan menjadi pengetahuan lagi untuk memperbaiki apa yang sudah kita ketahui.

Dalam waktu panjang jika siklus pengelolaan pengetahuan di atas dilakukan terus menerus, maka kita akan dapatkan Wisdom atau Kearifan Kearifan di keluarga kita yang kelak bisa kita wariskan pada generasi selanjutnya.

Wisdom dalam bahasa Islam disebut dengan hikmah. Hikmah ini adalah pengetahuan yang sudah unggul, disempurnakan dan dipraktekkan selama bertahun tahun, dikontekskan dengan keunikan keluarga dan kebutuhannya juga ditambah firasat atau intuisi sebagai fitrah orangtua selama menjalaninya.

Jika sudah menjadi wisdom, maka Kitabullah tinggal menyempurnakanya.

Kunci mengelola pengetahuan di dalam keluarga adalah

1. Knowledge Acquisition. Mengumpulkan, memilah dan menseleksi informasi baru atau pengetahuan yang sudah dimiliki baik yang ada di dalam kepala (tacit knowledge) maupun yang ada di dalam catatan, berkas maupun dokumentasi (explicit knowledge).

Ingat bahwa tidak semua informasi itu penting dan dibutuhkan oleh keluarga kita, pastikan bahwa informasi atau pengetahuan yang kita pilih dan simpan adalah yang relevan dengan kebutuhan, misi dan visi keluarga serta family strategy ke depan.

2. Knowledge Classification. Mengklasifikasi informasi maupun pengetahuan. Keluarga sebaiknya memiliki taxonomy pengetahuan khas keluarga sendiri.

Umumnya klasifikasi meliputi tema mendidik (misalnya masuk kelompok fitrah yang mana), tahapan usia, isu yang ada, tipe dokumentasi (jurnal, artikel, portfolio, seminar, workshop, riset dll), dsbnya.

Dalam kaitan klasifikasi ini, setiap keluarga juga sebaiknya memiliki para “Maestro” atau Subject Matter Expert (SME) atau orang orang yang mumpuni dalam bidang sesuai klasifikasi di keluarga kita sehingga bisa menjadi nara sumber pengetahuan bagi keluarga kita.

Misalnya untuk fitrah keimanan, siapa SME yang bisa kita belajar kepadanya terkait fitrah keimanan sekaligus menjadi pendamping keluarga. Begitupula fitrah bakat, fitrah seksualitas dstnya.

3. Knowledge Collaboration Dissemination. Melakukan kolaborasi pengetahuan berupa diskusi maupun praktek. Kemudian hasil kolaborasi ini didiseminasi, dikompilasi dan didokumentasikan kembali untuk disimpan dan diklasifikasi.

Ini adalah proses melahirkan pengetahuan kembali (knowledge dissemination) dari pengetahuan yang dipraktekkan maupun dikolaborasikan sehingga makin lama makin tajam dengan versioning yang selalu bertambah.

Pengetahuan bukan untuk disimpan, tetapi untuk dipraktekkan dan membuat keluarga kita semakin menemukan dan menuju kesejatian dirinya.

4. Knowledge Services. Menyajikan kembali dalam bentuk buku atau blog dsbnya yang mudah untuk dibaca kembali atau dishare kepada rekan atau komunitas dan juga agar memberi manfaat kepada orang orang di sekitr kita yang kita sayangi sekaligus mendapat feedback mereka.

Semoga keluarga kita bisa mulai mengelola pengetahuannya dengan sebaik baiknya sehingga kelak menjadi kearifan keluarga yang dapat diwariskan turun temurun, sehingga generasi ke depan tidak perlu mengulang kesalahan yang sama, dan bisa terus menyempurnakan kearifan dengan pengetahuan yang relevan yang sudah ada maupun yang baru.

“Pengetahuan bukan untuk dikuasai, tetapi ia bagaikan cahaya yang berpendar pendar dalam ruang yang gelap dimana kita hanya bisa melangkah dalam bayangan pendar pendar itu untuk semakin menuju kepada kesejatian diri kita”.

Salam Pendidikan Peradaban

# fitrahbasededucation
# pendidikanberbasisfitrah
# knowledgemanagement
Oleh Ust. Harry Santosa

Leave a comment